Kamis, 20 Maret 2014

Harga Sebuah Kehamilan

Pernikahan saya dan istri menginjak bulan ke enam, dalam perut istri saya tuhan sudah menitipkan bakal kehidupan baru. perjalanan hiduppun mulai terasa menemukan keringatnya. Untuk seorang pengantin baru, sungguh sebuah tantangan yang bukan main melelahkan. Bulan pertama kehamilan istri saya, adalah sebuah jilid pertama yang cukup menyita seluruh perhatian kami. Belum saya merencanakan sebuah bulan madu yang indah. Kehamilan istri membuat saya harus menunda banyak hal. Pada trisemester pertama kehamilan istri saya, saya takjub pada hal-hal kecil yang dianugerahkan tuhan pada kehidupan awal kami. Hari ini, ada sesuatu yang bergerak gerak di perut istri saya, sebuah kehadiran yang mendesak untuk dikabarkan. Sebuah kehidupan kecil yang tumbuh dari hari-hari kami yang tenang. Saya dan istri sama sama terkonsentrasi pada bagian yang satu ini, segala konsep dirancang untuk menyiapkan “karpet merah” bagi kedatangan buah hati pertama kami. Karena, ia adalah sesuatu yang telah memberi kami sebuah penghayatan pada hidup dan memberi makna pada apa yang kami sebut “rumah tangga”. Waktu berjalan, apa yang kami terima sebagai anugerah, selalu menuntut sebuah tanggung jawab yang akan kami pikul sepanjang hidup. Hidup di zaman modern seperti saat ini memang tak mudah, paling tidak bagi seseorang dengan pendapatan ekonomi yang masih mencemaskan seperti saya. Betapa tidak, semua aktifitas yang kami berdua lakukan hampir tak ada yang tidak dikurung harga, tak terkecuali oleh harga sebuah kehamilan. Ia bisa berupa biaya periodik yang harus saya keluarkan setiap bulan ke bidan, pemenuhan gizi seimbang buah kolaborasi pengetahuan modern dan industri komoditas yang profokatif. Ditengah seabrek persoalan ekonomi yang mengobrak abrik anggaran rumah tangga kami, beragam rencana ekonomi jangka panjangpun mulai mendesak untuk segera dirumuskan, meski semua konsep perbaikan ekonomi hanya sebagai konsep yang membantu menghibur dan menyuplai energi dan sedikit gairah untuk menghadapi tantangan berikutnya. Memberi kami kelapangan untuk menghayati pencapaian-pencapaian kecil yang kami lakukan.. Tetapi, betapapun sulitnya.. tantangan ini menyadarkan kami pada satu hal, ia menguji kebersamaan kami.......

Jumat, 28 Februari 2014

Burung Moncrot

Dari sebuah pohon yang rindang, sesuatu jatuh mendarat tepat di kaca helmku, sebuah noda hijau terpacak di batang hidungku. Sepertinya Tuhan sedang menggodaku lewat seekor burung yang moncrot di pagi yang indah. Aku tertawa.. seekor burung pagi ini benar-benar sedang merendahkan sisi“kemanusiaan”ku. Hanyalah seekor burung dengan kotoran yang datang di waktu dan tempat yang tepat, jadilah ia sebuah pertunjukan yang menggembirakan, tapi juga bukan main lucunya.. menggembirakan karena ia hanyalah kotoran, dan bukan sebongkah batu yang dilontarkan Tuhan lewat ratusan burung bul bul... dan lucu karena dari sekian ribu pengendara yang kebetulan lewat di bawah pohon itu, seleksi alam dan mekanisme waktu telah mempertemukan aku dengan kotoran itu. Sebuah situasi yang jika dihitung tingkat probabilitas nya oleh para ahli matemata.. saya adalah satu orang dari ratusan kemungkinan yang bisa terjadi pagi itu. Begitulah cara Tuhan menimpuk rezeki yang manis di pagi ini. yang najis, jika ia datang dengan cara yang jenaka, ia menggembirakan. Tuhan itu lucu...

Jumat, 14 Februari 2014

Sore Di Wajah Ibu

Pada perjumpaan yang ringkas, aku menemui sore di wajah ibu, perempuan yang telah dianugerahkan Tuhan pada bapak dan anak-anak yang dilahirkannya, senja masih semerah saga, ibu masih menunggu sebuah warung, dunia kecil tempatnya melapalkan hidup dan membentang hari di atas tumpukan sayur, sesekali ibu ke dapur menemui didih air di atas tungku yang menyala ,... dari dapur yang tak jauh jarak dari warung, ibu melewati lelah tubuh bapak yang lunglai tidur di sebelah warung dengan mata yang terkubur kantuk, sisa letih yang dibawa tubuhnya dari petakan sawah, membawa hangat kopi susu untuk para penjudi waktu yang singgah di teras rumah.. Ibu memang terlalu tua untuk melakukan banyak hal, tapi cita-cita masih memintanya untuk tetap hidup dengan tangkas, putih rambutnya yang masai tak menyamarkan lembaran sejarah masa muda yang lampau tertinggal dalam kenangan, ibu selalu tampak sederhana duduk di halaman pagi yang kian mewah. ibu adalah seorang perempuan yang tegas, lantang, tajam, dan bangkit untuk sesuatu yang ia yakini, sebuah dialektika kelembutan bapak. tapi sore ini ibu mengalir tenang seperti senja yang diam-diam pulang..Aku menangkap sepasang pisau mata nya yang linang, malam tak bisa menyembunyikan tatapannya yang sembab. Layaknya seorang ibu, ia menyimpan air mata yang kerap runtuh ketika luka mengiris hidup anak anaknya, ketika rindu tak tuntas dilepas di ujung telpon, ketika tangannya yang renta rindu mendekap tubuh anak-anak nya di seberang kota, Semua yang pernah hidup dalam peluk ibuku, mengenal ketajaman nya, dan akan menjadi babak hidup yang menancap dalam ingatan..Pada perjumpaan yang tak terlalu lama ini, bahkan untuk menampung air matanya yang lalu luluh, aku tak sanggup... Di beranda yang tak jauh jarak dari sofa, ibu berbincang tentang apa saja, tentang esok yang selalu indah, atau tentang perangai waktu yang kian bedebah. Pada saat hari yang bebal sejenak ia lupakan, raut ibu masih menyimpan keriangan yang indah untuk dipanggungkan, meski sesekali matanya tampak sunyi dan murung di tepi waktu. Ia lembut dalam banyak tatap, apa yang nampak runcing dimatanya adalah sisa mimpi yang menjaga tumbuh dalam hidup yang ranggas. Layaknya seorang ibu, ia akan senantiasa lebur dalam dekap yang hangat. Senja memulangkan siang yang layu di wajah ibu.. aku menemui malam di matanya yang sayu... Agustus, 2013

Minggu, 12 Januari 2014

Kita, DIsuatu Ketika

Adalah Seorang perempuan penuh gegas memintas perjalanan.. pada sebuah jeda persinggahan tanpa kata dan tak menyimpan banyak gejolak. Aku mengenal keriangan yang lalu terurai dalam percakapan yang begitu ringkas. Kita pernah duduk menantang senja yang bertelaga, memanggil angin yang jatuh dipunggung dan menyapu rambutmu yang juntai.. dalam gigil itu, kau masih saja menyimpan sepasang pandang yang sempurna menyimpan rahasia…. Lekas kubawa degupnya ke pintu rumah, menuju hangat kopi meredam debar yang mengepung dada..indah rasanya membincang cita cita yang kita rekat dalam kisah kisah di atas meja, mendedah dunia di suatu ketika yang nikmat kita pahat dalam banyak raka’at… kita menemukan cara untuk tertawa, menemukan simponi dan berbagi kidung bersama rimbun daun yang menggoda di seberang jendela… Dan aku rindu pada dawai yang berdenting dari gitar yang kurapikan jemarinya……. menjaga nada di tempat yang tak pernah lentik jarimu beranjak….namun, suaraku tak anggun untuk bisa mengindahi keheningan yang kau sedekahi nada,.. ia menjadi sepotong cerita tentang lagu yang tak usai di tungkai malam yang lunglai…. Menuntaskan sisa hari yang menggantung di ujung jarum jam, pada sebuah malam yang lain, tanpa lagupun kau telah menjelma menjadi irama ... bersenandung di malam yang masih nanap…. Sebelum kita sua dengan hidup yang menghujam hari hari kita dengan tajam, mari sejenak kita kenang persinggahan itu.. karena segala keriangan itu sejatinya kita simpan.. untuk kita panggil pulang dalam ingatan, atau untuk sekedar kita pacak menjadi sajak...

Rabu, 26 Desember 2012

Kedai Pak Jum

Pada sebuah perjalanan pulang yang terkurung hujan aku menepi di sebuah kedai kopi berpayung terpal, kecil, dan sahaja menahan hujan jatuh ke tubuh orang-orang yang berlindung di teduhnya... aku sangka langit akan kering terjaga hingga hari menuju esok, hujan membuncah begitu cepat, sekejap saja, dibawah terpal orang-orang semakin mengerumun, merapat, berjama’ah menghindari hujan yang berhamburan..aktifitas alam tiba2 memberi ruang untuk saling berbagi tempat mengisi keteduhan yang sama. Sulit rasanya aku menggembirai kesempitan ini, demikian juga orang-orang yang sama-sama terseret hujan hingga ke tempat ini.. disebelah tenda ini, ada “pak Jum”, demikian salah seorang dari kerumunan memanggil kelincahan seorang tua yang mengisi jeda hujan di kedai kopi yang berdampingan dengan keteduhan ini.. ia tak muda, tapi dari caranya beredar di area hujan ini sungguh menyimpan pesona yang dalam bagiku... melompat, menerabas, meliuk, dan tiba2 menjelma di hadapanku dengan gelas gelas yang patuh berderet di baki nya... Hujan yang keredaannya sedang kudo’akan saat ini, kehadirannya tampak sedang dirayakan pak Jum dengan riang, penerimaanku atas hujan saja benderang berbeda dengan penerimaan pak Jum atas hujan yang menggembala nasibnya saat ini... mungkin ada tarik menarik do’a yang sore ini menuju Tuhan dari tempat ini. sementara aku masih merawat kekecewaan atas hujan yang tak pernah paham situasiku, butir2 hujan masih lincah mengggulung tubuh pak Jum yang melompat dan beredar ke sekujur jalan, mengantar kopi, dan menjaganya dari hujan yang yang jatuh Pada akhirnya hangat kopi yang disebrangkan pak Jum dalam gelas yang lancip,memberi aroma tersendiri pada gigil yang lama2 kudamaikan dibawah terpal, tak sempat aku tuntaskan kopiku.. aku putuskan melabrak hujan, dengan segenap tubuh yang kuikhlaskan pada hujan, sekedar meneladani dedikasi pak Jum pada hujan. .. satu persatu orang2 di kedai pak Jum pergi melawan hujan, sebagian mengisi ulang kesabarannya di gelas-gelas kopi. saling mengisi dan melepas melingkar berputar di bawah terpal pak Jum tempat Tuhan mengatur kebahagiaan Pak Jum, istri, dan anak-anaknya....

Selasa, 04 September 2012

Sepotong Lirik di Cover Album

Take Your Time, hurry up.. the choice is yours don’t be late (Kurt Cobain) di masa anak-anak, Sebait lirik itu saya temukan terselip di sampul sebuah cover album bersama potongan-potongan lirik dari lain lagu yang saling bertumpang tindih berbagi tempat , di secarik kertas yang membungkus kaset pita. Diantara yang bertumpang tindih, kalimat pendek itu seperti membesar dan mengecilkan potongan-potongan lirik lainnya, kebesaran maknanya mengantarkan energi yang kuat kedalam pikiran, merevolusi cara pandang saya yang gamang terhadap tawaran-tawaran nilai dan pilihan-pilihan hidup di sekitar saya. Pesan yang disampaikannya menyentil ruang kesadaran, tentang betapa hidup bukan saja soal memilih dan memutuskan yang saya emban secara otonom, tetapi soal kecepatan dalam bertindak. Untuk rentang waktu yang cukup panjang lagu itu menjadi teriakan yang menggugat segala kebimbangan yang melemahkan. Saya Seperti menemukan tumpuan untuk bertolak dan bangkit, kesederhanaan kata-katanya membuatnya menjadi kalimat yang mudah untuk dihadirkan kembali setiap saat dalam ingatan saya…… kalimat itu lantas tidak berhenti sebagai sepotong kalimat yang tuntas dan menghilang di ujung lagu.. tapi selalu menjadi ruh yang mendasari setiap keputusan-keputusan yang saya buat dalam hidup, mengatasi keragu-raguan yang begitu problematis… karena, disaat yang paling dilematis, ia menjadi perintah yang menggedor hati saya untuk selalu bangkit dan menjadi diri saya seutuhnya. Awalnya ia terselip dalam deretan lirik di sebuah cover album yang membungkus kaset pita, lalu ia terselip dalam kepala saya dan membungkus pikiran-pikiran saya untuk menggagas banyak hal dalam hidup yang serba cepat. secepat kurt mengendalikan kematian lewat butiran peluru di tangan nya..... sementara, lagunya masih mengalun melampaui kematiannya.... memoria............... (fade out)

TIK

Aku suka setiap bunyi “tik” dari deretan tombol pad setiap ia memacak huruf huruf yang melaju menjadi kata. Dalam sejarah kesunyianku.. bunyi ini memberi energi pada pikiran untuk menyusun kalimat-kalimat yang gelisah.. kadang ia kuterima sebagai risalah singkat yang menjelma menjadi semesta. mungkin dari bunyi ''tik''yang sama banyak orang menemukan dunianya yang indah. Bunyi kerdil ini hanya akan dibesarkan oleh kesunyian, seperti juga inspirasi yang membiak ketika kesunyian memberi kita keleluasaan untuk mendengar hal hal yang tersembunyi. “tik” “tik” “tik” Aku mengetik di atas pad…….jksdshdfkjfhieuhefjkdnmfvjdfgjherhefuyteiorutowitperoietotioitoetportportititjggjdgdjgdgdjfgdkfjgdjfgkdfjggghhgkdjsgwiughwuetyireutoertorofjjfofjfjkdfjs,dhksf………….. dan, sunyipun menjadi rumit....