Jumat, 28 Februari 2014
Burung Moncrot
Dari sebuah pohon yang rindang, sesuatu jatuh mendarat tepat di kaca helmku, sebuah noda hijau terpacak di batang hidungku. Sepertinya Tuhan sedang menggodaku lewat seekor burung yang moncrot di pagi yang indah. Aku tertawa.. seekor burung pagi ini benar-benar sedang merendahkan sisi“kemanusiaan”ku. Hanyalah seekor burung dengan kotoran yang datang di waktu dan tempat yang tepat, jadilah ia sebuah pertunjukan yang menggembirakan, tapi juga bukan main lucunya.. menggembirakan karena ia hanyalah kotoran, dan bukan sebongkah batu yang dilontarkan Tuhan lewat ratusan burung bul bul... dan lucu karena dari sekian ribu pengendara yang kebetulan lewat di bawah pohon itu, seleksi alam dan mekanisme waktu telah mempertemukan aku dengan kotoran itu. Sebuah situasi yang jika dihitung tingkat probabilitas nya oleh para ahli matemata.. saya adalah satu orang dari ratusan kemungkinan yang bisa terjadi pagi itu. Begitulah cara Tuhan menimpuk rezeki yang manis di pagi ini. yang najis, jika ia datang dengan cara yang jenaka, ia menggembirakan. Tuhan itu lucu...
Jumat, 14 Februari 2014
Sore Di Wajah Ibu
Pada perjumpaan yang ringkas, aku menemui sore di wajah ibu, perempuan yang telah dianugerahkan Tuhan pada bapak dan anak-anak yang dilahirkannya, senja masih semerah saga, ibu masih menunggu sebuah warung, dunia kecil tempatnya melapalkan hidup dan membentang hari di atas tumpukan sayur, sesekali ibu ke dapur menemui didih air di atas tungku yang menyala ,... dari dapur yang tak jauh jarak dari warung, ibu melewati lelah tubuh bapak yang lunglai tidur di sebelah warung dengan mata yang terkubur kantuk, sisa letih yang dibawa tubuhnya dari petakan sawah, membawa hangat kopi susu untuk para penjudi waktu yang singgah di teras rumah.. Ibu memang terlalu tua untuk melakukan banyak hal, tapi cita-cita masih memintanya untuk tetap hidup dengan tangkas, putih rambutnya yang masai tak menyamarkan lembaran sejarah masa muda yang lampau tertinggal dalam kenangan, ibu selalu tampak sederhana duduk di halaman pagi yang kian mewah.
ibu adalah seorang perempuan yang tegas, lantang, tajam, dan bangkit untuk sesuatu yang ia yakini, sebuah dialektika kelembutan bapak. tapi sore ini ibu mengalir tenang seperti senja yang diam-diam pulang..Aku menangkap sepasang pisau mata nya yang linang, malam tak bisa menyembunyikan tatapannya yang sembab. Layaknya seorang ibu, ia menyimpan air mata yang kerap runtuh ketika luka mengiris hidup anak anaknya, ketika rindu tak tuntas dilepas di ujung telpon, ketika tangannya yang renta rindu mendekap tubuh anak-anak nya di seberang kota,
Semua yang pernah hidup dalam peluk ibuku, mengenal ketajaman nya, dan akan menjadi babak hidup yang menancap dalam ingatan..Pada perjumpaan yang tak terlalu lama ini, bahkan untuk menampung air matanya yang lalu luluh, aku tak sanggup...
Di beranda yang tak jauh jarak dari sofa, ibu berbincang tentang apa saja, tentang esok yang selalu indah, atau tentang perangai waktu yang kian bedebah. Pada saat hari yang bebal sejenak ia lupakan, raut ibu masih menyimpan keriangan yang indah untuk dipanggungkan, meski sesekali matanya tampak sunyi dan murung di tepi waktu. Ia lembut dalam banyak tatap, apa yang nampak runcing dimatanya adalah sisa mimpi yang menjaga tumbuh dalam hidup yang ranggas. Layaknya seorang ibu, ia akan senantiasa lebur dalam dekap yang hangat. Senja memulangkan siang yang layu di wajah ibu.. aku menemui malam di matanya yang sayu...
Agustus, 2013
Langganan:
Komentar (Atom)